Dari copywriter ke UX writer: Perjalanan menjinakkan “Monkey Mind”

Dari copywriter ke UX writer: Perjalanan menjinakkan “Monkey Mind”

Ini adalah kisahku sebagai solo UX writer di media online dan proses pembelajaranku mengenali dan menilai perasaanku secara objektif.

Feb 12, 2025

Career Growth

UX Writing

Nurdita Afifah

Sebelum memutuskan terjun ke UX writing, aku pernah jadi solo copywriter di agensi. Awalnya aku menganggap ini tantangan yang seru, karena mengelola banyak brand sekaligus bikin jalan pikiranku jadi terpeta untuk menghasilkan berbagai macam ide tulisan.

Wajar juga sih kalau buat agensi, satu orang pegang banyak project. Iya, bukan?

Nah, tapi, makin hari frekuensi request yang masuk terus menumpuk. Melelahkan rasanya mengerjakan banyak brand dengan persona yang berbeda. Bahkan, sekadar membuka platform streaming di laptop pun bikin aku merasa guilty. Seolah aku belum earn my me-time. Kalian pernah merasakan gitu juga gak?

Akhirnya, ini membuatku melirik pekerjaan menulis lainnya: UX writing.

Saat kesempatan itu muncul, pikirku singkat aja: “Oh, enak juga ya pekerjaannya UX writer? Hasil tulisannya lebih direct, gak pake banyak gimmick.”

Nyatanya benar. Setelah aku jadi UX writer, aku merasakan apa yang terlintas di pikiranku saat itu: menulis tanpa gimmick. Setidaknya, saat itu aku gak perlu terdengar begitu persuasif lagi, seperti “Ayo! Cepat! Sebelum kehabisan, nih!” di tulisanku.

Aku masuk di kantor baruku tanpa ada handover, tanpa dapat panduan bagaimana cara menulis untuk UX, apalagi untuk media online. Dari awal, modalku hanya buku referensi yang berseliweran di LinkedIn, serta webinar atau training tentang UX writing – salah satunya dari Warung Copy.

Untungnya, beban kerja masih terkendali, jauh lebih ringan dibanding jamanku jadi copywriter. Rasio UX writer dan UX designer di kantorku seimbang, ditambah saat itu masih ada 2 UX writer.

Tapi, keseimbangan itu hanya bertahan beberapa waktu. Setelah kolega UX writerku resign, aku pun sendirian menghadapi 7 macam stakeholder.

Sekarang, aku jadi solo writer lagi dan mengulangi rutinitasku sewaktu di agensi 🙃

Sembari menulis ini, aku lagi baca buku Merawat Luka Batin dari dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ. Dari buku ini, aku akhirnya menemukan istilah yang tepat untuk menggambarkan apa yang sering aku rasakan: Monkey Mind.

Istilah ini berasal dari prinsip Buddha, yang merujuk pada pikiran kita yang suka lompat-lompat, gampang gelisah dan sulit fokus — terus berpindah dari satu ke lain perasaan.

Dalam konteksku, aku sering merasa tak pernah berpijak. Menjadi solo berarti harus lompat-lompat dari satu ke lain project dalam satu waktu. Hal ini menyebabkan pikiranku terpecah, sulit fokus, dan overthinking.

Aku pun sering bertanya pada diri sendiri, “Apakah pekerjaan yang aku selesaikan udah maksimal?” Belum tentu. Ada kepuasan yang belum terpenuhi, yang kemudian menumpuk jadi ketakutan. Rasanya sudah berusaha mengejar ekspektasi, tapi kenapa sulit merasa cukup?

Perasaan ini sempat membuat pikiranku tersendat. Aku merasa sulit menerima masukan atau ide baru dari stakeholder. 

Bahkan aku pernah dicap "si paling suka menolak". Padahal, bukannya bermaksud menolak, tapi karena daya pikiranku sudah penuh.

Perasaan lainnya adalah di saat aku mengerjakan sebuah tulisan, lalu ternyata yang dipakai bukan tulisanku. Perasaan ini membuat aku bertanya: apakah aku masih berdampak sebagai UX writer?

Akhirnya, aku belajar untuk mundur dan berusaha menilai perasaanku secara objektif, mengenalinya tanpa beremosi. Apakah ia sedih, cemas, marah?

Perasaan ini penting untuk dinamai karena mempermudah proses memahami cara kerja pikiran. Saat terlalu banyak pikiran, emosi sering muncul spontan. Yang perlu dipastikan adalah faktor-faktor berikut:

  1. Durasi: Berapa lama perasaan itu bertahan?

  2. Intensitas: Seberapa berat perasaan itu muncul?

  3. Frekuensi: Seberapa sering merasakan itu?

  4. Kegunaan: Apakah emosi itu punya manfaat dalam konteks pekerjaan?

Menurut dr. Jiemi, emosi yang gak menyenangkan adalah sinyal untuk meninjau kembali perilaku dan tujuan kita dalam merespons situasi. Semisal, dalam konteks pekerjaan, aku merasa hilang arah ketika aku gak tau apa yang ingin dicapai stakeholder, ditambah aku solo dan harus mencari tau semuanya sendiri.

Aku perlu proaktif dan belajar cara melakukan follow up ketika ada update yang perlu aku tau. Hal ini bisa dengan semudah aku meminta feedbacknya lebih deskriptif untuk mengurangi jumlah revisi. Komunikasi secara asertif ini membantuku dan stakeholder untuk mengelola ekspektasi pekerjaan.

Aku perlu belajar bahwa daripada terus berasumsi, seharusnya aku lebih berusaha memahami. Bagaimana supaya lebih bisa dipahami? Sebagai UX writer, aku tau bahwa menempatkan diri di posisi orang lain bukanlah hal baru. Sebagaimana dalam pekerjaanku, aku juga harus menerapkan ini dengan rekan kerja di sekelilingku. 

Banyak yang mengenal kutipan Stephen King, "writing is a lonely job". Tapi kalimat selanjutnya, "having someone who believes in you makes a lot of difference", jarang ada yang tau. Jadi, balik lagi, monkey mind bisa dijinakkan dengan lingkungan kerja yang mendukung (support system), yang bisa bantu mengurangi rasa gelisah dan sulit fokus saat bekerja.

Terakhir, menjadi solo UX writer juga berarti berdiri di antara dua jalur: spesialis dan manajerial. Apa aku harus pilih salah satu atau melakukan keduanya? Entah nantinya aku pilih jalur spesialis atau manajerial, yang mau aku garisbawahi adalah: it’s okay to not have everything figured out yet. Career growth is a process.

About the author

Before landing a job as a UX Writer in the media industry, Nurdita used to work as a museum guide – still a guide, but for digital experiences. Her love for language, visuals, and storytelling has always been at the heart of her work. Away from work, you'll find her on Duolingo or reading for pleasure.