Data di balik kata: 5 langkah melakukan user research untuk UX Writer

Data di balik kata: 5 langkah melakukan user research untuk UX Writer

UX Writer harus menulis untuk ratusan, ribuan, bahkan jutaan user. Bagaimana cara memastikan tulisannya sesuai sama kebutuhan user? Ikuti 5 langkah ini.

Jan 1, 2025

User Research

Tips

UX Writing

Salsabila Larasati

User research adalah proses untuk memahami kebutuhan seseorang atau sekelompok orang yang menggunakan produk kita. Tujuannya supaya kita bisa menemukan solusi yang tepat buat mereka.

Proses ini sifatnya vital, karena temuan dari riset inilah yang akan jadi landasan untuk mengambil keputusan yang tepat – dalam membuat flow, layout, visual, warna, sampai teks – dan berbasis data, bukan asumsi semata.

Jadi kalau ditanya, "apakah user research perlu dikuasai oleh penulis seperti UX Writer, Copywriter, dan SEO Writer?" Jelas perlu, karena tulisan yang bagus itu bukan asal enak dibaca, tapi harus didasarkan data supaya tulisan itu benar-benar menyelesaikan masalah user.

Intinya, tanpa user research, kita hanya bisa mengandalkan asumsi dalam membuat tulisan. Hal ini berisiko karena belum tentu asumsi kita benar.

Lantas pertanyaan selanjutnya, "bagaimana cara memastikan tulisan kita sesuai sama kebutuhan user?" Sebelum aku jabarkan 5 langkahnya, mungkin aku spill TLDR-nya dulu ya.

Caranya adalah dengan melibatkan user sejak awal dan memastikan kita ada interaksi sama mereka sebelum kita mulai menulis.

1. Berangkat dari objektifnya

Ini langkah pertama. Apa tujuan melakukan riset ini? Tujuan yang jelas dan spesifik akan menjadi panduan sepanjang proses melakukan riset dan memastikan riset kita terarah.

Misalnya, kalau tujuannya adalah memperbaiki user experience, ini turunannya bisa banyak karena cakupannya luas alias tidak spesifik. Dalam contoh e-commerce, karena "memperbaiki user experience" ini cakupannya terlalu luas, maka kita perlu kritis menanyakan hal-hal berikut:

  1. Apakah tujuannya untuk mengurangi jumlah users yang hanya menyimpan barang di cart dan tidak lanjut checkout? (Cart abandonment)

  2. Apakan tujuannya untuk mengkurasi hasil pencarian agar lebih relevan ke kata kuncinya? (Search relevance)

  3. Apakah tujuannya untuk mempercepat step-step checkout? (Process optimization)

Tujuan riset yang spesifik akan (1) memaksimalkan kualitas pertanyaan kita ke user, (2) menentukan metode riset yang tepat, dan (3) memastikan hasil riset kita berdampak besar ke perusahaan.

2. Pilih metode riset yang tepat

Katakanlah, tujuan riset ini adalah mempercepat proses checkout. Dalam skenario ini, salah satu metode yang bisa digunakan adalah usability testing di mana kita bisa mengamati cara user berinteraksi dengan flow checkout dan mencatatat poin-poin yang membantu mereka, membingungkan mereka, dan sebagainya.

Di sisi lain, kalau tujuannya adalah meningkatkan relevansi hasil pencarian, maka boleh jadi user interview merupakan metode yang lebih tepat. Karena jadinya bukan flow yang perlu dites, tapi kata kunci yang mereka pakai dan hasil yang mereka harapkan.

Balik ke poin pertama, tujuan dari riset itu harus jelas dan spesifik sejak awal supaya kita bisa menentukan metode riset yang tepat.

3. Riset sesuai tingkat fidelitas

Selain menjadikan tujuan riset sebagai tolak ukur dalam memilih metode yang tepat, kita juga perlu mempertimbangkan tingkat fidelitas (level of fidelity) atau status desain kita.

Coba bayangkan kita ada di skenario ini:

  1. Tingkat fidelitasnya masih di dalam tahap wireframe.

  2. Desainnya masih lo-fi, hitam putih, dan susunan kontennya belum final.

Dalam skenario ini, boleh jadi usability testing adalah metode riset yang tepat. Karena dalam tahap wireframe yang masih lo-fi ini, kemungkinan besar flow navigasinya masih perlu diuji apakah intuitif bagi user atau tidak.

Beda ceritanya kalau tingkat fidelitasnya sudah masuk di tahap hi-fi. Di tahap ini, seharusnya flownya sudah mendekati versi final, maka tidak perlu dilakukan usability testing. Metode yang lebih cocok dilakukan di tahap ini mungkin condong ke A/B testing untuk menguji, misalnya, keserasian antara visual dan teks.

4. Komunikasikan hasil riset ke tim

Mari kita asumsikan bahwa metode riset yang digunakan adalah usability testing dan sejauh ini kita sudah melakukan metode tersebut, termasuk mengolah hasilnya. Sekarang adalah saatnya untuk mengomunikasikan hasil riset ke tim.

Ini adalah momen di mana kita mengundang semua personil yang terlibat dalam project kita. Yang wajib hadir dalam pertemuan ini, umumnya, adalah Product Manager, Product Designer, UX Writer, dan Engineer. Semua diundang untuk sama-sama memahami masalah yang ditemukan dan mendiskusikan solusi yang kita ajukan.

Dalam mengomunikasikan hasil riset, sajikan kontennya dengan gaya bahasa yang sederhana dan fokuslah pada teknik storytelling. Kenapa storytelling itu penting? Karena sekalipun hasil riset itu lengkap, belum tentu bisa membuka pikiran dan meyakini tim kita bahwa temuan kita ini penting untuk mereka pertimbangkan.

Jelaslah tujuan kita menyampaikan hasil riset ini bukan sekadar memberi data, tapi kita juga ingin menggugah empati setiap personil di tim kita, supaya apa pun solusi yang kita ambil nantinya benar-benar berkiblat pada kebutuhan user.

Misalnya, daripada hanya menampilkan statistik atau daftar masalah yang dialami user, cobalah bangun narasi dan ceritakan perjalanan user menggunakan alur sederhana seperti context → problem → solution yang tertera di atas.

5. Iterasi secara berkelanjutan

User research bukanlah proses yang linier, tapi condong berbentuk lingkaran dan perlu dilakukan terus-menerus alias iteratif menyesuaikan dinamika perilaku user dan pertumbuhan teknologi.

Melanjutkan poin keempat, kalaupun hasil risetnya sudah kita komunikasikan ke tim, dan mereka pun telah mengaplikasikannya ke dalam produk, kita perlu tetap mengevaluasi apakah perubahan ini benar-benar memberi dampak positif ke user atau tidak.

Dalam proses iterasi ini, kita bisa coba menggunakan usability testing, user interview, atau metode lainnya untuk mengukur efektivitas perbedaan antara versi lama dan versi baru.

Intinya, dengan proses iteratif ini, kita berusaha untuk memastikan supaya produk kita tetap relevan meskipun tren, perilaku, dan motivasi user cepat berubah.

Kesimpulan

Balik ke kalimatku di awal. Kita tidak bisa hanya mengandalkan asumsi untuk memvalidasi apakah tulisan kita sesuai kebutuhan user atau tidak. Untuk itu, keduanya (proses melakukan user research dan proses UX writing) perlu sama-sama diperhatikan supaya tulisannya tidak asal enak dibaca, menarik atau menghibur, tapi benar-benar menyelesaikan masalah user.

Laras is a freelancer in the music industry with a background as an Associate Product Manager. During her time as an APM, she likes to learn about content and microcopy and how they can shape digital products. When she’s not working, you’ll find her binge-watching YouTube or catching up with friends.